Kamis, 05 Juni 2014

Potensi Pemanfaatan Sagu


Indonesia merupakan negara yang dianugerahi Tuhan dengan kekayaan sumber daya alam yang menopang kehidupan masyarakatnya, mulai dari kekayaan bahari hingga kekayaan hutan yang tak terbendung banyaknya. Persoalaan yang muncul hanyalah pada sumber daya pengelolaan kekayaan tersebut hingga menjadi sesuatu yang bermanfaat.
Salah satu dari kekayaan hutan Indonesia yang cukup signifikan yakni tanaman sagu (Metroxylon). Mengapa sagu termasuk kekayaan Indonesia? Sebab, dari total area hutan sagu di dunia, Indonesia memiliki satu juta hektar hutan sagu yang tersebar di beberapa provinsi atau menguasai 51.3% hutan sagu di dunia. Sebaran lahan pohon sagu terbesar di Indonesia terdapat di beberapa wilayah yaitu Papua, Maluku, Riau, Sulawesi Tengah dan Kalimantan.
Dari luas hutan sagu tersebut, secara matematis sagu ikut menyumbang pemasukan bagi Indonesia dikisaran trilyunan rupiah. Berdasarkan hasil kajian dan pemetaan Forum Kerjasama Agribisnis, jika Indonesia mau membudidayakan sagu dan memanfaatkan pengelolaannya secara maksimal dalam memproduksi tepung sagu, maka dalam jangka waktu sekali panen, industri tepung sagu dengan kisaran harga Rp. 2.400 per kilo gramnya pun sudah mampu menyumbang pendapatan kotor dikisaran 4 trilyun rupiah.
Selain itu, banyak alasan strategis yang membuat sagu pantas meng-Indonesia, mulai dari alasan filosofis, pemanfaat dan nilai guna, hingga alasan politis dan budaya. Dalam artikel ini, saya akan membahas beberapa alasan strategis tersebut yang menurut saya pantas membuat sagu begitu potensial.
Secara filosofi hidup, Indonesia perlu meneladankan ketahanan hidup layaknya sagu. Mengapa demikian? Dari sekian banyak permasalahan hidup yang mendera bangsa ini,  Indonesia perlu membangun ketahanan hidup agar tak mudah terkoyak. Jika belajar dari karakteristik sagu dalam menopang hidupnya, sagu termasuk tanaman pangan dengan ketahanan hidup yang memukau.
Biasanya, sagu tumbuh di daerah rawa yang berair tawar atau daerah rawa yang bergambut dan di daerah sepanjang aliran sungai, sekitar sumber air, atau di hutan rawa yang kadar garamnya tidak terlalu tinggi dan tanah mineral di rawa-rawa air tawar dengan kandungan tanah liat lebih dari 70% dan bahan organik 30%. Pertumbuhan sagu yang paling baik adalah pada tanah liat kuning coklat atau hitam dengan kadar bahan organik tinggi.
Dari area tumbuh seperti gambaran di atas, sagu mampu menghasilkan produk terbaiknya bagi kebutuhan manusia. Padahal, risiko tanaman sagu di area tumbuh seperti itu juga cukup rentan terhadap serangan hama dan ragam penyebab kerusakan lahannya. Pada sagu usia muda (3-4 tahun) biasanya mulai dilakukan penyiangan gulma, sebab gulma dapat menyebabkan kebakaran lahan kebun sagu. Dari gulma, juga dapat menjelma menjadi hama perusak pohon sagu.
Dalam masa-masa pertumbuhan, sagu mengalami gangguan mulai dari akar hingga dedaunannya. Akar sagu akan mati jika pengairan dan tanah di rawah tidak menunjang untuk pernapasan akar, akibatnya pohon sagu pun bisa mati yang mengakibatkan gagal panen. Batang dan daun sagu juga sering terserang hama, ciri dari serangan hama ini adalah, serangan sekunder setelah kumbang oryctes biasanya meletakkan telur di luka bekas oryctes. Bila serangan terjadi pada titik tumbuh, dapat menyebabkan kematian pohon.
Hama juga bukan satu-satunya penghambat sagu dalam perjalanan hidupnya, dimasa rentannya antara usia 1-4 tahun, sagu masih memiliki kemungkinan punah atau mati akibat serangan hewan, seperti ulat artona, babi hutan, dan kera ((macaca irus)). Ulat artona, selain merusak daun pada sagu, juga menyerang pada daging buah, ulat daun ini menyerang jaringan dalam daun. Sedangkan babi hutan, berpotensi merusak sagu pada masa semai dan sapihan, memakan pucuk batang yang masih muda. Begitupun hewan kera (macaca irus), juga merusak sagu muda. Penyakit yang biasanya terdapat pada tanaman sagu adalah bercak kuning yang disebabkan oleh cendawanCercospora. Gejala dari penyakit ini adalah daun berbercak-bercak coklat.
Meski mendapat banyak serangan dalam masa-masa pertumbuhannya, sagu mampu mengatasi permasalahan itu secara biologis, memanfaatkan tumbuhan disekitarnya untuk mengurangi tingkat serangan terhadap dirinya. Area rawa juga cukup melindunginya dari serangan hewan perusak seperti babi dan kera. Dan keuntungan lainnya, permasalahan sagu sudah tentu dapat ditangani secara mekanik atau berdasarkan bantuan manusia dalam menjaga dan merawatnya.
Pemanfaatan Sagu
Dengan kemungkinan tingkat kerusakan yang ada, sagu dapat tampil dengan postur terbaiknya, tinggi menjulang lebih hingga 10 meter, terlebih tingkat pemanfaatannya yang luar biasa besar. Di kampung kelahiran saya, Desa Kwaos, Ambon, warga setempat memanfaatkan sagu bahan pangan primer maupun sebagai bahan mentah pembuatan kerajinan tangan dan sebagainya.
Berikut beberapa pemanfaatan sagu secara tradisional yang sering dilakukan oleh warga desa di kampung saya, yakni: pertama, batang sagu dapat digunakan sebagai saluran air untuk irigasi persawahan atau ladang, batang sagu dapat dibelah lebih tipis untuk dijadikan papan alas saung di perkembunan, dan menjadikan batang sagu sebagai pagar area perkebunan. Kedua, pati sagu dalam batang dapat dikelola menjadi makanan tradisional sagu, tepung sagu, dan aneka makanan seperti mie dan beragam jenis kue.
Ketiga, daun pohon sagu dapat digunakan sebagai atap rumah. Daun-daun disulam dengan cara khusus, dikeringkan, kemudian dijadikan atap rumah. Meski rumah di kampung saya sudah cukup maju, menggunakan seng dan genteng, tapi ada saja beberapa warga yang masih mempertahankan cara hidup tradisional dengan memanfaatkan daun sagu sebagai atap rumah.
Pemanfaatan modernnya, selain sebagai bahan campuran bagi soun, mie dan kerupuk yang terdapat di restoran khas Maluku, sagu juga dibutuhkan bagi industri tekstil, kertas, dan juga industri kosmetika. Berdasarkan data Perhimpunan Pendayagunaan Sagu Indonesia (PPSI), produksi sagu nasional saat ini mencapai 200.000 ton per tahun atau baru mencapai sekitar 5 persen dari potensi sagu nasional.
Berdasarkan kajian Forum Kerjasama Agribisnis, Indonesia memiliki potensi alam bagi pengembangan sagu yang tidak dimiliki oleh benyak negara di dunia. Logika pemanfaatannya, jika pemerintah menginvestasi dana senilai 1,3 trilyun rupiah dengangrace period 12 tahun pada luas lahan 68.180 hektar, dengan pendapatan kotor pada tahun pertama sebesar 4 trilyun rupiah, sebenarnya layak untuk diwujudkan dan sangat menguntungkan. Apabila upaya ini dilakukan, sebenarnya kita dapat sangat berkontribusi bagi pemenuhan pangan dunia. Untuk pangan nasional, tentu pemanfaatan sagu sebagai komoditi pangan berkarbohidrat juga ikut mengurangi ketergantungan masyarakat pada beras yang saat ini diserap hampir 80% oleh masyarakat Indonesia.
Selain sebagai komoditi pangan, menurut pakar Sagu dari Institute Pertanian Bogor (IPB) Bogor, Dr. Fredy Rumawas, bahan tepung Sagu dapat menghasilkan polimer terbaik guna membuat plastik yang bisa terurai atau plastik yang mudah hancur di alam. Sedangkan di pasaran internasional, tepung sagu digunakan sebagai bahan substitusi tepung terigu untuk pembuatan biskuit, mie, sirup berkadar fruktosa tinggi, industri perekat, dan industri farmasi. Jadi, dengan satu juta lahan sagu di Indonesia, sejatinya Indonesia mampu menjelma menjadi makmur.
Kesimpulannya, secara umum pembudidayaan dan pemanfaatan sagu memberikan manfaat lebih bagi Indonesia, baik pada taraf penigkatan ekonomi, kesejahteraan sosial, penyediaan komoditi pangan nasional, hingga penyediaan lapangan kerja dan bisnis. Bahkan, sagu secara budaya sudah menjadi bagian intim bangsa ini sebab keberadaan sagu pada awalnya diperkirakan berasal dari Maluku dan Papua.
Sagu juga mencerminkan sikap, watak, dan karakter bangsa ini yakni mampu bertahan hidup dalam keadaan terseok-seok akibat gangguan lingkungan global. Harapannya, Indonesia kelak akan menjadi negara yang memberikan manfaat bagi masyarakat global, nama bangsa ini akan tetap kokoh, menjulang tinggi meski diterpa badai ujian yang bertubi-tubi.

Tulisan ini sudah diposting di kompasiana.com/shulhan oleh Shulhan Rumaru

0 komentar:

Posting Komentar