Lihatlah
potret pulau terapung ini, indahkan? Apakah nampak seperti Singapura? Mari
simak cerita saya tentang pulau terapung ini. Saya bersyukur, dilahirkan di
pulau seindah itu, pulau yang banyak mengisakan kenangan indah, juga ragam
keunikan yang terlalu manis untuk dilupakan. Sudah banyak suka-cita tertumpah
di sana, membanjiri setiap kenangan saya tentang masa kecil yang warna-warni.
Kini,
setelah 10 tahun jauh dari tanah kelahiran, saya kembali menggali banyak
kenangan yang tertimbun dalam benak tentang pulau itu, di mana 11 tahun masa
kecil saya terekam di sana. Pulau itu bernama Geser, ya Geser, sebab bentuknya
memang menyerupai huruf “G” bila dilihat dari ketinggian 2000 kaki di atas
permukaan laut.
Geser
merupakan pulau terapung di pesisir Maluku Tengah yang secara geografis, lepas
dari daratan Kabupaten Seram Bagian Timur. Nama Geser begitu familiar, menggaung ke seantero Maluku disebabkan banyak
faktor strategis, mulai dari faktor geografis, demografis, hingga faktor
sejarahnya yang terkait erat dengan ke-Indonesiaan. Bahkan, bagi sebagian kaum
pedagang di Indonesia bagian timur, mulai dari Makassar hingga Irian Jaya,
sudah begitu akrab dengan pulau Geser ini. Biasanya, Geser selalu menjadi jalur
perdagangan mereka karena letakknya yang strategis dan memiliki pelabuhan
sebagai jantung pergerakan bisnis lokal.
Sebagai
risiko alam, berada di wilayah perairan, Geser memang membutuhkan pelabuhan
atau dermaga kapal laut sebagai pemenuhan kebutuhan pasar dagang, sebab hanya
dengan pelabuhan kapal itulah peluang bisnis dan usaha bagi masyarakat setempat
dapat terwujud, mulai dari akses jalur perdagangan, mudahnya pasokan produk,
ekspor dan impor, hingga adanya pertukaran nilai-nilai sosial ekonomi yang
dibawa para saudagar dari wilayah lain ke Geser. Basis perdagangan tradisional
yang sudah mengakar ratusan tahun di sana, mengangkat pamor Geser sebagai
sentra ekonomi di Kabupaten Seram Bagian Timur Maluku itu. Saat ini, Geser
memiliki armada yang dapat disinggahi kapal berbobot mati 500 DWT hingga 1.000
DWT atau setara dengan bobot kapal PELNI (Pelayaran Nasional Indinesia).
Dari
aspek sejarah, pada dekade 1950-an Geser pernah menjadi wilayah logistik bagi
pasukan Soeharto ketika merebut Irian Barat dari tangan Belanda. Geser dianggap
strategis dalam operasi mandala. Dari segi sosial ekonomi, di Geser banyak
warga keturunan Tionghoa yang menetap, berkeluarga dan mengembangkan
perekonomian di pulau Geser. Pulau yang tersohor dengan keelokan alamnya ini,
juga dikenal dengan keramahtamahan warganya yang selalu hidup rukun meski
berbeda agama dan suku marga. Dari situ, pulau kecil ini, dijuluki “Singapura”
di Timur.
Geser,
memiliki dua suku budaya yang begitu terkenal, yakni suku Esiriun dan Siritaun.
Kedua suku ini selama tujuh abad selalu hidup berdampingan, meski keduanya
memiliki wilayah kekuasaan masing-masing. Suku Esiriun sepanjang sejarahnya di
pulau Geser, menguasai wilayah daratan, termasuk mahir bercocok tanam,
berdagang, dan hampir memiliki warisan rempah-rempah seperti cengkeh di wilayah
Seram Bagian Timur Kecamatan Geser. Berdasarkan wawancara saya lewat telephon
dengan seorang keturunan suku Esiriun, Abdul Muthalib menceritakan, suku
Esiriun memiliki bahasa asli yang disebut Pakunu.
Lain
halnya dengan suku Siritaun, mereka lebih menguasai lautan, mahir menelayan,
melestarikan terumbu karang, bahkan menjaga satwa bawa laut Geser. Suku ini
juga memiliki bahasa yang sama yaitu Pakunu, namun berbeda dalam baju adat dan
lambing kekuasaan masing-masing. Siritaun dikenal dengan ikan khasnya yaitu
Kubutangi. Ikan ini, dipercaya tidak berada diwilayah lain kecuali di perarian
Geser dan menjadi santapan utama mereka. Meski begitu, dengan bekal hidup
berdampingan selama tujuh abad itu, suku Esiriun dan suku Siritaun sudah saling
mengenal, bahkan tak enggan berbagi dalam hal positif.
Kedua
suku ini terbuka dengan dunia luar, mereka termasuk suku yang menerima
perkembangan zaman yang dinamis. Pola hidup mereka termasuk maju, sebab banyak
interaksi sosial dan pergerakan perekonomian yang berkembang pesat. Interaksi
kedua suku ini dengan kaum pendatang begitu intens, hampir setiap minggu Geser
dibanjiri pasokan barang dagangan dari berbagai tempat, mulai dari Jakarta
hingga Irian Jaya. Pola hidup dengan intensitas interaksi yang dinamis inilah
yang membuat Geser memiliki sensasi tersendiri bila kita berkunjung kesana.
Ada
beberapa sensasi yang mesti dirasakan oleh teman-teman semua, diantaranya
sensasi wisata pulau karang. Wisata pulau karang ini, berada satu kilo meter di
bagian luar arah barat pulau Geser. Bagi warga Geser, pulau karang lebih
dikenal dengan sebutan “Bas Buru”. Pulau karang itu dikelilingi terumbu karang
putih yang mencuat dari dalam birunya lautan Geser. Ya, memang unik sebab pulau
karang itu dibungkus birunya lautan lepas. Meski begitu, banyak warga setempat
yang senang bertamasya di sana, sekedar mencicipi ikan bakar ala kadarnya, memancing,
dan menikmati indahnya karang-karang putih yang nampak bagai gunung dalam
lautan. Selain itu, Geser memiliki pulau naga, ya pulau yang persis berbentuk
naga. Bila dilihat lebih dekat, di pulau ini jelas terlihat empat buah taring
setinggi 1 meter. Ke empat taring itu, tepat di mulut naga. Di pulau itu,
sering menjadi tempat memancing yang strategis sebab cukup banyak aneka jenis
ikan.
Geser
juga memiliki ritual mengarak jemaah haji yang hendak berangkat maupun sepulang
haji. Ritual ini sudah membudaya dan selalu dilakukan bila ada jamaah haji yang
hendak berangkat maupun sepulang haji. Biasanya, jamaah haji diarak keliling
Geser dengan perahu “belan”. Perahu ini dihiasi bendera Indonesia, aneka
warna-warni kertas yang digantungkan seperti lampu kapal, dan membutuhkan 20
pendayung serta 1 kapten perahu. Dua puluh pendayung itu terus serempak
mendayung hingga ritual arakan jemaah haji itu usai. Ritual ini semakin meriah
saat warga berduyun-duyun ke pantai dan menyaksikan prosesi ritual tersebut.
Pada setiap
kali Indul Fitri, masyarakat Geser biasanya melaksanakan tradisi “jalan awat”.
Tradisi ini adalah bagian dari cara bersilaturrahim pasca hari pertama lebaran
Idul Fitri dengan beramai-ramai mengelilingi pulau Geser, singgah di setiap
rumah yang dilewati. Biasanya, hampir ratusan orang, mulai dari anak berusia 10
tahun hingga orang dewasa. Dalam tradisi ini, tuan rumah dimintai sedekah untuk
anak yatim dan pemberian sedekah tidak dibatasi nominalnya, tergantung
keikhlasan tuan rumah yang disinggahi.
Selain
itu, mereka juga bertukar aneka kue lebaran. Alhasil, biasanya, setiap rumah
memiliki aneka macam kue lebaran, mulai dari jenis bolu, tar, dan lainnya.
namun ada kue andalan ornag geser, apalagi kalau bukan kue rontang. ya, kue
satu ini memang idaman banyak warga geser sebab enaknya, hemmm yumiii… :)
Di
pulau Geser, kini sudah tersedia penginapan untuk para kaum pendatang dari luar
daerah. Meski begitu, bisanya setiap warga baru yang datang kesana, juga diajak
tinggal di rumah warga. Tidak perlu bayar, semua disediakan gratis untuk
mereka. Hanya saja, biasanya para pendatang sering ikut belanja bahan makanan
sebagai rasa terimakasih. Di rumah saya, setiap kaum pendatang sudah disediakan
kamar khusus, meskipun dengan jamuan seadanya. Setidaknya, itulah kebiasaan
unik warga pulau Geser.
Dari
segi pendidikan, di Geser terbilang kumplit sebab sudah tersedia lembaga
pendidikan mulai dari play group hingga sekolah tinggi. Meski sarana
dan prasarana pendidikakan belum semodern di Jakarta, namun proses pembelajaran
tetap berlangsung. Tentu saja, siswa yang datang pun dari berbagai wilayah
sekitar Geser, menyeberangi lautan biru demi bersekolah.
Warga Geser terbilang
antusias menyoal pendidikan, sebab rata-rata warga Geser di usia 40-50
adalah tamatan SLTP dan SLTA, sedangkan generasi 1980-an sudah banyak yang
menamatkan pendidikan di sekolah tinggi. Jadi, saat teman-teman berkunjung ke
Geser, teman-teman akan menikmati ragam budaya, tempat wisata, dan takkan
merasa canggung dalam berkomunikasi. Warga Geser, sudah fasih berbahasa
Indonesia yang baik.
Sebagai
warga asli Geser, saya bersyukur pernah 11 tahun tinggal di sana. Semoga saya
bisa kembali kesana, bercengkerama dengan keluarga, dan menikmati eloknya pulau
mungil itu.
Tulisan ini sudah dipublikasikan di kompasiana.com/shulhan oleh Shulhan Rumaru
0 komentar:
Posting Komentar