Kamis, 05 Juni 2014

Sensasi Pulau Terapung Geser di Maluku


Lihatlah potret pulau terapung ini, indahkan? Apakah nampak seperti Singapura? Mari simak cerita saya tentang pulau terapung ini. Saya bersyukur, dilahirkan di pulau seindah itu, pulau yang banyak mengisakan kenangan indah, juga ragam keunikan yang terlalu manis untuk dilupakan. Sudah banyak suka-cita tertumpah di sana, membanjiri setiap kenangan saya tentang masa kecil yang warna-warni.
Kini, setelah 10 tahun jauh dari tanah kelahiran, saya kembali menggali banyak kenangan yang tertimbun dalam benak tentang pulau itu, di mana 11 tahun masa kecil saya terekam di sana. Pulau itu bernama Geser, ya Geser, sebab bentuknya memang menyerupai huruf “G” bila dilihat dari ketinggian 2000 kaki di atas permukaan laut.
Geser merupakan pulau terapung di pesisir Maluku Tengah yang secara geografis, lepas dari daratan Kabupaten Seram Bagian Timur. Nama Geser begitu familiar, menggaung ke seantero Maluku disebabkan banyak faktor strategis, mulai dari faktor geografis, demografis, hingga faktor sejarahnya yang terkait erat dengan ke-Indonesiaan. Bahkan, bagi sebagian kaum pedagang di Indonesia bagian timur, mulai dari Makassar hingga Irian Jaya, sudah begitu akrab dengan pulau Geser ini. Biasanya, Geser selalu menjadi jalur perdagangan mereka karena letakknya yang strategis dan memiliki pelabuhan sebagai jantung pergerakan bisnis lokal.
Sebagai risiko alam, berada di wilayah perairan, Geser memang membutuhkan pelabuhan atau dermaga kapal laut sebagai pemenuhan kebutuhan pasar dagang, sebab hanya dengan pelabuhan kapal itulah peluang bisnis dan usaha bagi masyarakat setempat dapat terwujud, mulai dari akses jalur perdagangan, mudahnya pasokan produk, ekspor dan impor, hingga adanya pertukaran nilai-nilai sosial ekonomi yang dibawa para saudagar dari wilayah lain ke Geser. Basis perdagangan tradisional yang sudah mengakar ratusan tahun di sana, mengangkat pamor Geser sebagai sentra ekonomi di Kabupaten Seram Bagian Timur Maluku itu. Saat ini, Geser memiliki armada yang dapat disinggahi kapal berbobot mati 500 DWT hingga 1.000 DWT atau setara dengan bobot kapal PELNI (Pelayaran Nasional Indinesia).
Dari aspek sejarah, pada dekade 1950-an Geser pernah menjadi wilayah logistik bagi pasukan Soeharto ketika merebut Irian Barat dari tangan Belanda. Geser dianggap strategis dalam operasi mandala. Dari segi sosial ekonomi, di Geser banyak warga keturunan Tionghoa yang menetap, berkeluarga dan mengembangkan perekonomian di pulau Geser. Pulau yang tersohor dengan keelokan alamnya ini, juga dikenal dengan keramahtamahan warganya yang selalu hidup rukun meski berbeda agama dan suku marga. Dari situ, pulau kecil ini, dijuluki “Singapura” di Timur.
Geser, memiliki dua suku budaya yang begitu terkenal, yakni suku Esiriun dan Siritaun. Kedua suku ini selama tujuh abad selalu hidup berdampingan, meski keduanya memiliki wilayah kekuasaan masing-masing. Suku Esiriun sepanjang sejarahnya di pulau Geser, menguasai wilayah daratan, termasuk mahir bercocok tanam, berdagang, dan hampir memiliki warisan rempah-rempah seperti cengkeh di wilayah Seram Bagian Timur Kecamatan Geser. Berdasarkan wawancara saya lewat telephon dengan seorang keturunan suku Esiriun, Abdul Muthalib menceritakan, suku Esiriun memiliki bahasa asli yang disebut Pakunu.
Lain halnya dengan suku Siritaun, mereka lebih menguasai lautan, mahir menelayan, melestarikan terumbu karang, bahkan menjaga satwa bawa laut Geser. Suku ini juga memiliki bahasa yang sama yaitu Pakunu, namun berbeda dalam baju adat dan lambing kekuasaan masing-masing. Siritaun dikenal dengan ikan khasnya yaitu Kubutangi. Ikan ini, dipercaya tidak berada diwilayah lain kecuali di perarian Geser dan menjadi santapan utama mereka. Meski begitu, dengan bekal hidup berdampingan selama tujuh abad itu, suku Esiriun dan suku Siritaun sudah saling mengenal, bahkan tak enggan berbagi dalam hal positif.
Kedua suku ini terbuka dengan dunia luar, mereka termasuk suku yang menerima perkembangan zaman yang dinamis. Pola hidup mereka termasuk maju, sebab banyak interaksi sosial dan pergerakan perekonomian yang berkembang pesat. Interaksi kedua suku ini dengan kaum pendatang begitu intens, hampir setiap minggu Geser dibanjiri pasokan barang dagangan dari berbagai tempat, mulai dari Jakarta hingga Irian Jaya. Pola hidup dengan intensitas interaksi yang dinamis inilah yang membuat Geser memiliki sensasi tersendiri bila kita berkunjung kesana.
Ada beberapa sensasi yang mesti dirasakan oleh teman-teman semua, diantaranya sensasi wisata pulau karang. Wisata pulau karang ini, berada satu kilo meter di bagian luar arah barat pulau Geser. Bagi warga Geser, pulau karang lebih dikenal dengan sebutan “Bas Buru”. Pulau karang itu dikelilingi terumbu karang putih yang mencuat dari dalam birunya lautan Geser. Ya, memang unik sebab pulau karang itu dibungkus birunya lautan lepas. Meski begitu, banyak warga setempat yang senang bertamasya di sana, sekedar mencicipi ikan bakar ala kadarnya, memancing, dan menikmati indahnya karang-karang putih yang nampak bagai gunung dalam lautan. Selain itu, Geser memiliki pulau naga, ya pulau yang persis berbentuk naga. Bila dilihat lebih dekat, di pulau ini jelas terlihat empat buah taring setinggi 1 meter. Ke empat taring itu, tepat di mulut naga. Di pulau itu, sering menjadi tempat memancing yang strategis sebab cukup banyak aneka jenis ikan.
Geser juga memiliki ritual mengarak jemaah haji yang hendak berangkat maupun sepulang haji. Ritual ini sudah membudaya dan selalu dilakukan bila ada jamaah haji yang hendak berangkat maupun sepulang haji. Biasanya, jamaah haji diarak keliling Geser dengan perahu “belan”. Perahu ini dihiasi bendera Indonesia, aneka warna-warni kertas yang digantungkan seperti lampu kapal, dan membutuhkan 20 pendayung serta 1 kapten perahu. Dua puluh pendayung itu terus serempak mendayung hingga ritual arakan jemaah haji itu usai. Ritual ini semakin meriah saat warga berduyun-duyun ke pantai dan menyaksikan prosesi ritual tersebut.
Pada setiap kali Indul Fitri, masyarakat Geser biasanya melaksanakan tradisi “jalan awat”. Tradisi ini adalah bagian dari cara bersilaturrahim pasca hari pertama lebaran Idul Fitri dengan beramai-ramai mengelilingi pulau Geser, singgah di setiap rumah yang dilewati. Biasanya, hampir ratusan orang, mulai dari anak berusia 10 tahun hingga orang dewasa. Dalam tradisi ini, tuan rumah dimintai sedekah untuk anak yatim dan pemberian sedekah tidak dibatasi nominalnya, tergantung keikhlasan tuan rumah yang disinggahi.
Selain itu, mereka juga bertukar aneka kue lebaran. Alhasil, biasanya, setiap rumah memiliki aneka macam kue lebaran, mulai dari jenis bolu, tar, dan lainnya. namun ada kue andalan ornag geser, apalagi kalau bukan kue rontang. ya, kue satu ini memang idaman banyak warga geser sebab enaknya, hemmm yumiii… :)
Di pulau Geser, kini sudah tersedia penginapan untuk para kaum pendatang dari luar daerah. Meski begitu, bisanya setiap warga baru yang datang kesana, juga diajak tinggal di rumah warga. Tidak perlu bayar, semua disediakan gratis untuk mereka. Hanya saja, biasanya para pendatang sering ikut belanja bahan makanan sebagai rasa terimakasih. Di rumah saya, setiap kaum pendatang sudah disediakan kamar khusus, meskipun dengan jamuan seadanya. Setidaknya, itulah kebiasaan unik warga pulau Geser.
Dari segi pendidikan, di Geser terbilang kumplit sebab sudah tersedia lembaga pendidikan mulai dari play group hingga sekolah tinggi. Meski sarana dan prasarana pendidikakan belum semodern di Jakarta, namun proses pembelajaran tetap berlangsung. Tentu saja, siswa yang datang pun dari berbagai wilayah sekitar Geser, menyeberangi lautan biru demi bersekolah.
Warga Geser terbilang antusias menyoal pendidikan, sebab rata-rata warga Geser  di usia 40-50 adalah tamatan SLTP dan SLTA, sedangkan generasi 1980-an sudah banyak yang menamatkan pendidikan di sekolah tinggi. Jadi, saat teman-teman berkunjung ke Geser, teman-teman akan menikmati ragam budaya, tempat wisata, dan takkan merasa canggung dalam berkomunikasi. Warga Geser, sudah fasih berbahasa Indonesia yang baik.
Sebagai warga asli Geser, saya bersyukur pernah 11 tahun tinggal di sana. Semoga saya bisa kembali kesana, bercengkerama dengan keluarga, dan menikmati eloknya pulau mungil itu.


Tulisan ini sudah dipublikasikan di kompasiana.com/shulhan oleh Shulhan Rumaru

0 komentar:

Posting Komentar